Kamis, 15 Januari 2009

TARIAN TRADISIONAL INDONESIA SEBAGAI ICON DESTINASI WISATA


Pernahkah terlintas tarian tradisional menjadi icon destinasi wisata Indonesia?
Kekayaan dan keragaman tarian tradisional Indonesia selama ini hanya dipromosikan sebagai pendukung atraksi wisata utama meskipun di beberapa daerah tujuan wisata di Indonesia seperti Tari Saman (Aceh), Tari Tor Tor (Sumatera Utara), Tari Piring (Sumatera Barat), Tari Reog Ponorogo (Jawa Timur), Tari Serimpi (Jogjakarta), Tari Kecak (Bali), Tari Topeng (Jawa Barat), sudah dikenal namun keberadaannya bukan menjadi daya tarik wisata utama alasan wisatawan mengunjungi destinasi wisata tersebut. Sebagai contoh Mayoritas wisatawan datang ke Jogjakarta bukan karena tarian tradisionalnya tetapi karena objek wisata primadona seperti Candi Prambanan, Gunung Merapi, Malioboro, Kraton Ngayogyakarta, meskipun Jogjakarta dikenal sebagai destinasi wisata budaya.
Apabila ditelusuri lebih mendalam variasi tarian tradisional Indonesia sebagai negara kepulauan (±17.508 pulau) akan mewarnai karakteristik destinasi wisata yang memiliki keunggulan kompetitif kebudayaan dengan jumlah yang signifikan. Sebagai contoh di Provinsi Papua Barat yang memiliki lebih dari 250 suku yang bila diasumsikan 1 suku 1 tarian maka sudah ada 250 jenis tarian. Bila dihitung dari 33 provinsi di Indonesia dengan keragaman suku dan kebudayaannya maka dapat dibayangkan berapa jumlah tarian tradisional Indonesia.
Pada saat ini, destinasi wisata di Indonesia yang telah membentuk citra tarian sebagai icon pariwisata adalah Pulau Bali yang terkenal dengan tarian Balinya tidak perduli dengan nama khusus jenis tariannya (pendet / kecak / Barong/ dll) yang jelas semua jenis tarian yang ada di Bali dikenal dengan sebutan tari Bali bagi wisatawan.
Beberapa jenis tarian di negara lain seperti Salsa (Cuba dan Amerika Utara), Samba, (Brazil), cha cha (Amerika Latin) mampu menjadikan tarian sebagai icon destinasi wisata yang digandrungi oleh wisatawan dan telah mendunia.
Optimalisasi pemberdayaan aset budaya khususnya tarian tradisional dirasakan masih kurang, performansi tarian yang diselenggarakan mayoritas didasari atas dasar permintaan atau pada upacara kegiatan sosial seperti sunatan, pernikahan, panen, syukuran dan lain lain. Memang terdapat beberapa tarian yang tidak bisa ditampilkan karena memiliki nilai kepercayaan (sakral-agamis) dengan periode khusus (special event) seperti Tari Bedoyo Ketawang (Solo), Tari Sanghyang (Bali) dan itu tidak perlu dieksploitasikan. Namun masih banyak tarian dengan mengangkat tema tarian rakyat, tarian penyambutan, tarian sejarah, tarian pola kehidupan masyarakat yang dapat disosialisasikan dan ditampilkan setiap saat.
Kasus lagu rasa sayange, alat musik angklung dan batik yang diklaim sebagai milik negara lain harusnya menjadi pengalaman bagi bangsa Indonesia untuk proaktif menyelamatkan seni budaya asli Indonesia lainya melalui penciptaan citra destinasi “Destination Image” dan peluang tersebut dapat digali melalui pengemasan tarian – tarian tradisional Indonesia sebagai daya tarik wisata utama (main tourist attraction) daerah tujuan wisata atau sebagai icon destinasi wisata negara Indonesia.
Selain itu konsumsi pertunjukan tarian tradisional di Indonesia hanya dilihat sebagai hiburan atau selingan wisatawan yang berfungsi sebagai nilai tambah produk wisata (value added) dalam melakukan aktivitas wisata selama berada di destinasi wisata. Hal tersebut tidak bersifat negatif tetapi akan lebih baik apabila tarian menjadi pembentuk citra destinasi wisata yang bersifat mass tourism, layaknya tarian modern dan kontemporer seperti disco “dunia dugem’ dikalangan remaja dan dewasa yang bisa dilakukan hampir disetiap kota besar dengan akses dan fasilitas yang memadai. Mengapa tidak dengan tarian tradisional?? Menciptakan aktivitas menari yang interaktif dimana wisatawan tidak hanya menonton tetapi ikut berpartisipasi.
Model pengemasan tarian tradisional dapat dimodifikasi tanpa mengurangi nilai identitas. Salah satu objek wisata yang telah melakukan kreatifitas tersebut adalah Saung Angklung Mang Udjo yang dalam salah satu susunan acara yang ditampilkan mengajak wisatawan menari bersama (tarian permainan rakyat), dengan alunan musik angklung dan kini menjadi salah satu primadona objek wisata di Kota Bandung.
Tercetus gagasan untuk menjadikan Indonesia dengan icon destinasi wisata “Indonesia The Islands of Ethnic Dances” atau dapat diartikan “bila ingin menari tarian tradisional datanglah ke Indonesia, kepulauan yang syarat dengan variatif tarian etnis” dimana para wisatawan dapat menonton dan berpartisipasi aktif menari tarian tradisional yang terdapat di seluruh pelosok tanah air. Kreatifitas pengemasan tarian tradisional Indonesia masih dibutuhkan sebagai bagian dalam upaya pelestarian aset budaya bangsa dengan tetap menjunjung tinggi nilai identitas kebudayaan lokal.

Penulis: Beta Budisetyorini, MSc.
Foto by Fik IIstiqlal


Keterangan :

Icon Destinasi Wisata : Daya tarik wisata utama yang telah diterima oleh sebagian besar wisatawan sebagai atraksi wisata penting dan mampu memberikan pengalaman berwisata yang signifikan, berpengaruh dalam pembentukan citra destinasi wisata (Beckens, 2005)

Mass Tourism : Wisata yang bersifat massal dan rekreatif, serta mudah diakses oleh wisatawan (wikipedia)

NDARA PURBO SANG MITOS DAN LEGENDA

Yogya (PR) Kang sumare ing pasareyan Karang Kabolotan di Jl.Kusumanegara Yogyakarta, yakni Raden Bekel Prawira Purbo, yang lebih kondang dengan sebutan Ndara Purbo, adalah sang mitos, sang legenda.
Sebagai mitos, apa yang ia lakukan, ia kerjakan serta tingkah lakunya, serba ajaib, serba melebihi manusia pada umumnya. Satu contoh, saat Ndara Purbo duduk dibawah jembatan kereta api, kereta api yang akan lewat menjadi mogok, menjadi berhenti mendadak. Ini aneh, ini ajaib, ini sulit diterima nalar sehat, jadi seperti antara ya dan tidak.
Lalu sebagai legenda, kendati Ndara Purbo sudah meninggal lebih dari lima puluh tahun yang lalu, sampai saat ini masih menjadi buah bibir di masyarakat, masih hidup diantara mereka yang percaya. Dan dimasyarakat Yogya, lebih-lebih yang kini berusia lebih dari lima puluh tahun, tidak ada yang tidak mengenalnya.
Lalu siapakah Ndara Purbo sang mitos dan sang legenda ini?. Juru kunci makam setempat, yakni Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Purbo Wijoyo bertutur, Ndara Purbo adalah cucu Sultan ke VI. Ia, adalah putra dari Gusti Pangeran Harya Surya Mataram Pertama, dan wafat tahun 1933.
“Dados Ndara Purbo menika wonten ing jamanipun Sinuwun kaping pitu”, jelas KRT Purbo Wijoyo.
Ndara Purbo, kendati anak seorang ningrat yang terhormat, ia hidup menggelandangan dari satu tempat ke tempat lainnya. Pakian yang dikenakanpun, tidak lebih dari seorang gelandangan yang sesungguhnya, wong Jawa bilang “tingsemboyot”. Namun pilihan mengelandang ini, ada sebab musababnya, ana jalarane.
Saat itu, ketika ia masih sebagai abdi dalem Kraton, waktu sedang membersihkan taman, ia melihat buah mangga. Kemudian, buah mangga itu ia petik, entah akan untuk apa. Yang pasti, perbuatan tersebut, diketahui Kanjeng Sinuwun Kaping VII.
Melihat perbuatan Ndara Purbo itu, Sinuwun mengatakan, “jangan diambil, ayo dikembalikan ke tempatnya”. Atas perintah ini, Ndara Purbo melempar mangga tersebut ke pohonnya. Dan astaga, mangga itu kembali ke rantingnya, persis sama seperti sebelum dipetik.
Atas hal ini, Sinuwun pun menjadi duka dan berujar, “kowe kok kaya wong edan, kaya glandangan kang ora ngerti aturan”. Sabda pendita ratu, maka Ndara Purbo pun menjadi gelandangan dan keluar dari Kraton. Sejak itu, ia hidup ditengah rakyat, ia hidup sebagai pamomong, sebagaimana Semar dalam tokoh wayang yang menjadi pamomong Pandawa.
“Karena itu, makam ini dinamakan Karang Kabolotan. Karang Kabolotan, adalah Padepokannya kaki Semar”, jelas KRT Purbo Wijoyo.
Dan selama menggelandang ini, Ndara Purbo banyak membuat “pengeram-eram”, atau bila sampeyan sarujuk, “sebut wae keajaiban”. Contohnya, saat ia klitah-klitih di pasar, embuh pasar ngendi, melihat seorang penjual dawet. Lalu ia mendekat, kemudian tangannya mengobok-obok dawet tersebut.
Ajaibnya, tidak lama kemudian, dawet itu terjual habis. Bahkan tidak hanya itu, hari-hari selanjutnya, larisnya berlipat-lipat dibanding sebelumnya. Sehingga, bakul dawet itu menjadi sugih, menjadi brewu, dan menjadi terkenal.
Cerita lainnya, pernah Ndara Purbo dikuntit terus oleh seorang perempuan. Kemudian kata Ndara Purbo, “kowe ki ngapa kok ngetutke aku terus”. Jawab perempuan itu, “lare kula niku sakit Ndara, nyuwun tombo, nyuwun obat supados mantun”. Kata Ndara Purbo sambil berlalu, “lho aku ki dudu dukun je, kana golek dukun wae”.

Jawaban demikian, tidak menyurutkan niat perempuan itu untuk terus mengikuti Ndara Purbo. Sampai suatu ketika Ndara Purbo bertanya, “ngendi to omahmu kuwi, ayo menyang omahmu”. Singkatnya, Ndara Purbo sampai di rumah perempuan tersebut.
Dan memang benar, anak perempuan itu terlihat sakit keras, sudah sentik-sentik seperti akan mati. Selanjutnya perempuan itu diperintah untuk masak air, dan meletakkan anaknya diatas sebuah meja. Ndara toyane sampun panas, sampun mateng, ujar perempuan itu pada Ndara Purbo saat air yang dimasaknya sudah matang.
“Kene. Gawa ndene banyune”, jawab Ndara Purbo. Perempuan itu pun, segera membawa air panas tersebut pada Ndara Purbo. Saat air panas itu sudah dalam tangan Ndara Purbo, tanpa wigah wigih, air itu disiramkan pada bocah yang terbujur sakit, yang sudah sentik-sentik seperti akan mati. Eloknya, bocah bersangkutan seperti terkejut, lalu bangun, turun dari meja, berlari dan sembuh.
Ngandel ora sampayen?. Rangandel rapapa, bebas kok, pokoke sakarep sampeyan dewe. Yang pasti, sampai saat ini, makam Ndara Purbo masih menjadi tempat pasujarahan yang dianggap kramat. Dan orang yang bertirakat disini, tidak hanya warga Yogya dan sekitarnya saja. Melainkan ada yang datang dari Surabaya, Semarang, Jakarta, Lampung dan tempat lainnya. Sampeyan piye, arep mrene ora, nggone ora adoh kok, mung sawetane kantor pos gede Yogya. (Ema)